Senin, 25 Maret 2019

Sesingkatnya

Sore ini hujan,
Malam tadi angin menggerus nadiku kencang
Pilihan buatku sama saja tak bermakna.

Lonceng-lonceng di sudut jalan,
Sudah berdentang
Saatnya memaknai apa yang sudah dilewati

Irama serampangan jatuh,
Malam itu tidak sunyi
Malam itu tidak mati
Malam itu abadi

Seakan membutakan perasaan
Singkat, namun dalam

Tetapi rintik hujan disana cukup keras,
Cukup untuk memaknai tempo disela telinga yang kedap akan suara dari kejauhan

Dan lagi-lagi,
Aku bukanlah diriku
Denyut nadi perlahan melepas emosi
Aku tidak ingin berkelahi,
Pun juga mati,
Aku hanya ingin menanti
Momentum yang abadi

Perjalanan singkat ini cukup memberiku arti
Tentang bagaimana makna yang dimaknai oleh makna itu sendiri,
Bukan makna lain.

Tetap saja, jiwa ini belum sadar
Akan arti mengapa dan bagaimana
Tentang pribadi sendiri
Atau yang lain.

Catatan peristiwa semoga menyadarkan
Apa itu sesungguhnya

Minggu, 25 November 2018

Dilema Tuan Bertemu Puan II: jejak jejak di padang rumput

Benak tuan masih merana memikirkan sang puan yang menurutnya indah itu, seakan dibutakan. Timbul pencarian dalam diri tuan mengingat wajah puan yang memerah malam itu.

Secepat kilat tuan kembali ke kedai pagi harinya. Namun puan tidak hadir di meja yang sama. Dia tidak nampak sama sekali hari itu. Sampai tuan kehabisan sabar menunggu hingga petang.

Tuan hanya ingin tahu pribadinya
Hanya penasaran akan imajinya pula
Tapi semua itu hampir dirombak total dengan keputusasaan. Itulah hari kedua dimana tuan memikirkan wanita itu.

Dia masih kecewa.

Esoknya, Tuan termangu di bukit sebelah rumahnya. Di sana terhampar padang rumput yang cukup luas. Beberapa hektare sudah cukup membuat tuan merasa hampa.
Imajinasinya berperan lagi
Mundur beberapa waktu di kedai yang sama
Tuan tahu mawar di sebelahnya sedang memekarkan diri, dan jejak kelinci masih hangat di tanahnya. Tuan hanya diam dan diam dan selalu diam.

"Sedang apakah tuan disana?", Tanya seorang wanita mendadak.

"Rindang pohon ini cukup meneduhkan gulungan rambut hitamku", jawab tuan.

"Maka beranikah tuan keluar dan menemaniku memberi makan para kelinci?", Sahut wanita itu seraya tersenyum.

Tuan segera mengenakan kacamatanya, dan melihat dengan jelas bahwa itulah puan, berdiri tepat di garis matanya.
Dia makin termangu.
Kedai ternyata tidak cukup membentuk suasana yang hangat. Tapi siang itu terasa hangat bagi tuan meski matahari cukup menyengat.

Sambutan hangat puan hanya dijawab kegelisahan hebat.

Sekali lagi tuan makin jatuh hati

Bukan di kedai, melainkan di padang rumput.

Tapi tetap, tuan masih bertanya dalam hatinya. Ia sungguh bingung tak menentu.

Senin, 19 November 2018

Dilema Tuan Bertemu Puan I

Tuan mencari cari jejak purnama malam itu ketika kabut mulai turun dibarengi lamban gesek biola yang tak menentu dari arah kedai kesukaannya.

Belakangan tuan tak mampu tidur sebagaimana mestinya, melainkan hanya sekadar gelap semata kurang lebih satu atau dua jam.

Untung saja kedai itu selalu buka dikala tuan butuh sembahan macam kopi dan gula.

Malam itu rasa-rasanya sedikit berbeda, alunan musik hanya berhenti beberapa detik di benak tuan. Tuan tahu diapun cinta musik, bahkan seorang tuan yang lugu adalah pemain klarinet kala-kala di kedai itu. Tetapi ketukan malam itu sungguh timpang di hati tuan. Matanya hanya menerka rambut lurus, mata berkaca, dan bibir yang mencemooh sedikitnya tentang hidup dan kehadiran dunia dalam benaknya.

Ya, tuan telah melihat puan di ujung meja kedai kesukannya,

Dan tuan hanya mendiamkan bibir dan pikirannya.

Pikir tuan belum saatnya,

Atau mungkin pikir tuan, ia tidak mampu. Sebab benak tuan berkehendak namun fisiknya lemas tanpa alasan jelas.

Jelas, tuan telah jatuh hati


Senin, 12 November 2018

Gurauan I: Intrik dan Tragedi

Intrik semesta kembali menerpa,
Kali ini menerjang kubangan peraduan diri
Gurauan tidak berbicara banyak

Keinginan untuk sadar
Melebihi batas wajar
Pola pola pemikiran tak tentu
Cukup membasahi
Cukup mengilhami
Cukup menyakiti

Selama itu, diri ini hanya bersandar pada keraguan tak menentu

Dan selama itu pula, tidak ada kerahiman ilahi yang menyangkal ketiadaan

Saya rasa ini cukup mampu dikatakan sebagai tragedi, tentang masa atau rasa yang tidak pernah didengungkan sebelumnya. Dan sudah sebagaimana mestinya pikir, tutur kata, dan logika mencari ilhamnya sendiri

Sementara di muka keadilan tidak terasa cukup berguna. Ketika perkara mencari muka, sudah cukup membuktikan bahwa diri ini berbicara banyak tentang ketidakmampuan

Dan masih di masa yang sama itu, gurauan belum berbicara banyak

Hitung-hitungan para pakar matematika seakan bukan ilmu pasti, sebab banyak kemungkinan menerpa dan menerjang kepastian

Lagi-lagi gurauan tak mampu menunjukkan integritasnya

Sehingga saya rasa gurauan hanya cercaan belaka. Yang membatasi, atau bahkan menembak mundur pejuang-pejuang sisi batas

Mungkin beberapa diantaranya hanya berusaha menghibur,
Dan sisanya mencemooh surga

Jumat, 09 November 2018

Dentuman yang tak mendentum

Dentuman detak jantung

Sepatah duka yang mendayu

Derap litani terus dikumandangkan

Gegap gempita di tengah dunia

Hidup atau mati

Sama saja rasanya,

Hampa

Kamis, 08 November 2018

Bimbang

Sering kali menuangkan perbedaan
Hanya sering kali dibungkus dengan kenistaan

Jika kita melihat,
Sering kali ombak datang menjemput pasir
Pun terkadang meninggalkannya,
Terlampir di bibir pantai

Juga terkadang hiruk pikuk kota,
Menjamur di antara pencakar langit
Sedang manusia,
Menunggu lepas penat mencari sepi

Kadang mata dibutakan sesuatu yang buram
Tidak pernah mengenal ujungnya
Tidak pernah tahu apa bentuknya
Hanya saja buram
Tidak pernah terlepas penatnya

Jikalau memang semesta berkehendak
Buram pun jadi jelas
Jelas pun bisa bermakna ganda
Entah terang atau terlalu silau untuk dipandang
Sejenisnya mampu kembali membutakan
Atau,
Sedikit memburamkan

Berkehendak bukan jadi persoalan
Keinginan bukan sesuatu yang fana
Tapi fakta terlalu mudah membukakan mata
Sedang dilain hari, miris makin nyata

Dalam kurun waktu ini perenungan dimulai
Jawabannya?
Nanti.
Cari sendiri, atau tutup sendiri

-2018-